Hinduisme Bali
Penduduk kepulauan Indonesia mayoritas beragama Islam (sekitar 85%). Pulau Bali merupakan pengecualian, di mana 80% penduduknya menganut agama Hindu (sekitar 1,7% dari total populasi Indonesia). Setelah merdeka dari penjajahan Belanda, Konstitusi Indonesia tahun 1945 menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warganya. Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul upaya untuk mengatur kehidupan beragama masyarakat yang terdiri dari berbagai keyakinan dan dimensi, dengan ideologi dasar yang disebut Pancasila (“Panca” berarti lima, “Syila” berarti dasar, sehingga dapat diartikan sebagai lima prinsip dasar negara). Sila pertama, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, secara eksplisit berbicara tentang kepercayaan dan penyembahan kepada satu Tuhan. Pada saat itu, pengesahan Hinduisme Bali sebagai agama resmi di Indonesia menimbulkan kontroversi, karena saat itu Hinduisme Bali hanya dianggap sebagai sekte agama dan bukan agama yang sah.
Pada tahun 1952, Kementerian Agama Indonesia berada di bawah kendali kelompok Islamis yang sangat membatasi definisi “agama” yang dapat diterima. Agar dapat diakui sebagai agama resmi di Indonesia, kementerian mendefinisikan agama sebagai kepercayaan monoteistik, memiliki hukum agama yang tertulis, serta memenuhi sejumlah persyaratan lainnya.
Namun, masyarakat Bali tidak menyerah. Mereka terus berjuang untuk mengakui keyakinan dan kepercayaan mereka sebagai agama resmi negara. Setelah perjalanan panjang dan perjuangan berat dari para pemuka agama, pemerhati budaya, serta berbagai pihak terkait Hinduisme Bali, akhirnya agama ini diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia pada tahun 1959. Selain itu, pemerintah Indonesia menolak hak-hak kewarganegaraan, seperti hak pilih, bagi siapa pun yang tidak menganut agama monoteistik yang diakui secara resmi. Oleh karena itu, minoritas Hindu Bali menyesuaikan diri dan menyatakan bahwa bentuk Hinduisme mereka bersifat monoteistik, serta menyajikannya dalam bentuk yang memungkinkan mereka secara politik mendapatkan status sebagai “agama”. Hinduisme Bali kini telah diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu agama yang dianut di Bali.
Hinduisme Bali sangat erat kaitannya dengan sejarah Hinduisme di India. Keyakinan mereka tidak hanya didasarkan pada kitab suci Veda, tetapi juga pada kitab-kitab kuno, filosofi, dan berbagai cara hidup yang berdasarkan banyak teori yang saling mendukung. Oleh karena itu, Hinduisme bukanlah agama yang dogmatis, melainkan hasil dari cara hidup spiritual yang terus berkembang dan berubah seiring waktu.
Hinduisme masuk ke Bali dengan kedatangan para pedagang India. Jauh sebelum Islam, Hinduisme telah meresap ke dalam keyakinan dasar masyarakat melalui ritual, tradisi, dan seni. Hal ini juga melahirkan gagasan spiritual, mitos, dan legenda, seperti yang terlihat dalam berbagai festival dan peristiwa unik yang berkaitan dengan roh leluhur dan dewa-dewa mereka. Pura di Bali juga memiliki desain dan prinsip yang mirip dengan kuil Hindu di India. Orang Bali menyebut tempat suci mereka sebagai Pura, yaitu tempat suci yang dikelilingi tembok. Terdapat lebih dari 20.000 pura di seluruh pulau, masing-masing dikaitkan dengan karakteristik tertentu seperti garis keturunan atau wilayah geografis.
Perkembangan Hinduisme di Bali diyakini telah dimulai sekitar abad ke-8 dengan ditemukannya berbagai fragmen prasasti di Pejeng – salah satunya membuktikan bahwa Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta berkembang di Bali dengan adanya patung Siwa dan pura Putra Bhatara Desa di desa Bedahulu, Gianyar. Menurut masyarakat Bali, kedatangan orang-orang dari Kerajaan Majapahit menandai awal penyebaran Hinduisme di Bali.
Namun, beberapa abad sebelum Majapahit, sudah ada kerajaan bercorak Hindu di Bali bagian selatan, pada masa Mataram Kuno, antara tahun 600 hingga 1000 Masehi. Pejeng dan Bedulu menjadi pusat kerajaan dengan raja keturunan Warnadewa. Kemungkinan kerajaan ini berasal langsung dari pengaruh para pedagang Hindu, tetapi juga bisa jadi akibat pengaruh Mataram.
Selain masuknya Hinduisme, ditemukan juga peninggalan yang menunjukkan kedatangan Buddhisme Mahayana. Hal ini dapat dilihat dari stupa-stupa tanah liat yang tersebar di Pejeng bagian selatan, Titiapi, dan Blahbatuh, Gianyar.
Namun, pada akhirnya, Buddhisme Mahayana menyatu dengan Hinduisme sebagaimana diwarisi di Bali saat ini. Terdapat pula berbagai sekta yang berkembang di Bali sekitar abad ke-10. Berdasarkan penelitian, sekta-sekta tersebut antara lain: Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya), dan Ganapatya.
Namun, beberapa naskah lontar yang ditemukan di Bali hanya menyebutkan enam sekta, yaitu Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, dan Kala.
Dari abad ke-10 hingga ke-14, perkembangan Hinduisme di Bali berlangsung sangat pesat, hingga akhirnya pemerintahan Raja Astasura Ratna Bumi Banten ditaklukkan oleh ekspedisi Majapahit di bawah kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada.


